Ibnu Khaldun: Indikasi Negara Menuju Keruntuhan Ketika Pajak Semakin Meluas dan Beragam
Ibnu Khaldun: Indikasi Negara Menuju Keruntuhan Ketika Pajak Semakin Meluas dan Beragam
Intelektual Muslim terkenal, Ibnu Khaldun (1332-1408), mengungkapkan bahwa salah satu tanda sebuah negara mendekati kehancuran adalah ketika pajak yang dipungut dari rakyatnya menjadi semakin besar dan bervariasi.
Menurut pernyataan Ibnu Khaldun, pajak adalah beban yang dikenakan kepada masyarakat sesuai dengan hukum syariat, seperti zakat, pajak tanah (kharaj), dan pajak kepala (jizyah), yang semuanya ditujukan untuk pembangunan negara (Muqadimmah, 493).
Pemerintah bertanggung jawab menetapkan aturan, termasuk pajak, yang harus dipatuhi oleh masyarakat, sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nisa Ayat 59:
Yaaa aiyuhal laziina aamanuuu atii’ul laaha wa atii’ur Rasuula wa ulil amri minkum fa in tanaaza’tum fii shai’in farudduuhu ilal laahi war Rasuuli in kuntum tu’minuuna billaahi wal yawmil Aakhir; zaalika khairunw wa ahsanu taawiilaa
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan Rasul-Nya, serta pemimpin di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Itu lebih baik dan hasilnya lebih baik. (QS An-Nisa: 59)
Sejarawan dan pemikir Islam asal Tunisia ini tidak bermaksud menentang pajak. Ibnu Khaldun menekankan pentingnya meringankan pajak yang ditetapkan negara kepada masyarakat, sehingga mendorong mereka untuk bekerja lebih keras.
Pandangan Islam Tentang Pajak
Menurut Ustaz Farid Nu’man Hasan, dalam sejarah pemerintahan Islam, pendapatan negara berasal dari beberapa sumber:
- Ghanimah (harta rampasan perang)
- Fa’i (harta rampasan tanpa peperangan, ditinggalkan musuh karena melarikan diri/takut, seperti dalam perang Tabuk)
- Jizyah dari Kafir Dzimmi
- Zakat
- Hadiah dari negara sahabat
Namun saat ini, dengan sumber-sumber tersebut tidak semuanya dapat diterapkan, banyak negara muslim menambah sumber pendapatan melalui ekspor impor, utang, dan pajak.
Pajak diperbolehkan oleh empat mazhab, dikenal sebagai Adh Dharaaib Al ‘Adilah (pajak yang adil), untuk pembiayaan negara. Meski demikian, beberapa ulama melarangnya, menyamakannya dengan Al-Maks (pungutan liar).
Perdebatan ini berawal dari pertanyaan apakah kewajiban harta hanya zakat atau ada kewajiban lain. Ustaz Farid Nu’man Hasan menjelaskan bahwa ini adalah isu yang diperdebatkan oleh para ulama:
- Kelompok Pertama, mengatakan tidak ada kewajiban lain selain zakat. Ini adalah pendapat Imam Adz-Dzahabi, Syekh Albani, Syekh Ibnu Baaz, Syekh Utsaimin, dan lainnya. Alasan mereka disandarkan pada hadis dari Abu Hurairah yang menyebutkan amal yang mengantarkan ke surga meliputi penyembahan Allah, shalat wajib, zakat, dan puasa Ramadhan.
